Melacak Jejak Perang di Tanah Biak Sebagai Wisata Sejarah

MULUT goa berdiameter lebih dari 20 meter itu menganga lebar begitu kita menerobos jalan setapak yang masih rimbun dengan pepohonan. Sinar matahari senja yang jatuh di permukaan goa menghasilkan gradasi gelap-terang pada dinding-dinding goa. Terlihat akar-akar pepohonan bergelayut di atas permukaan dengan sisa-sisa embun yang masih membasah.
Bebatuan kapur tegak membentuk sisa-sisa pilar di dinding atas dan di dasar goa. Ketika menuruni puluhan anak tangga menerobos ke dalam goa, lembabnya dinding kapur melambungkan bayangan ketika para serdadu Jepang bertahan di dalam dan mencoba menyiasati kejaran tentara Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur yang tersohor itu, medio 1940-an.

Inilah wajah goa peninggalan Perang
Dunia II yang tersisa di Pulau Biak. Serangan Batalyon I Infanteri 162 pada tanggal 21 Juni 1944 telah meninggalkan jejak, mengangakan mulut goa, meninggalkan puing-puing sisa kekejaman perang. Goa tempat pengendalian logistik pasukan Jepang di bawah pimpinan Kolonel Kuzume ini terletak di wilayah Desa Sumberker, Kecamatan Samofa, Pulau Biak, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Lokasi ini hanya berkisar lima kilometer dari pusat kota. Bandara Frans Kaisiepo bisa dilihat tidak berapa jauh dari kawasan ini. Selepas keluar kawasan goa Jepang, tepat di mulut "pintu angin" pada puncak bukit kapur, pandangan bisa langsung tertumbuk pada landasan panjang bandara yang relatif sepi semenjak penerbangan internasional tidak lagi singgah di Biak.

PERJALANAN di tanah Biak memang menyisakan penggalan episode perang yang menarik. Gua Jepang di Binsari bukan satu-satunya peninggalan yang bisa dirangkaikan untuk sebuah perjalanan mengitari Pulau Biak. Masih banyak obyek lain yang bisa dikunjungi, yang bisa dihabiskan dalam sehari perjalanan dengan kendaraan sendiri. Pasalnya, lokasi yang berjauhan akan menyulitkan jika kita harus menumpang angkutan umum.
Perjalanan melacak jejak Perang Dunia II di Pulau Biak bisa dimulai dengan menyusuri pinggiran Pantai Bosnik yang bening airnya, yang menyuguhkan pemandangan karang sepanjang garis pantai untuk sampai di Monumen Perang Dunia II di kawasan Paray. Monumen yang terletak di Jalan Raya Bosnik, Kecamatan Biak Kota, ini hanya sekitar tujuh kilometer dari pusat Kota Biak.
Monumen ini dibangun atas kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang, dan diresmikan 24 Maret 1994. Seperti tertulis di atas prasasti peresmian, monumen ini dibangun untuk mengingatkan umat manusia pada kekejaman perang dengan segala akibatnya.
Sebuah lekukan menyerupai cangkang kerang dengan dua set meja di bawahnya dibangun berseberangan dengan prasasti penunjuk monumen yang dirancang oleh Hiroshi Ogawa ini. Delapan batu karang yang menonjol di depan monumen menjadi pemandangan awal ketika kita membaca tulisan dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Jepang, di monumen ini. Sementara di keluasan monumen terdapat balok marmer yang biasa digunakan sebagai tempat duduk. Semuanya berdiri teratur dalam deretan berjarak sama.

Ketika musim libur tiba, ada saja warga Jepang yang datang mengunjungi monumen ini. Mereka yang umumnya orang-orang tua itu biasanya datang berombongan. Tujuannya untuk mendoakan arwah para prajurit yang gugur dalam pertempuran di Biak. "Mereka biasanya datang malam-malam berdoa di sini dengan membawa lilin," cerita Ny Orpa Koibur, penduduk Paray. Persis di sisi monumen ini, bisa dilongok mulut goa kapur yang masih tertutup bongkahan besar. Konon, goa tersebut merupakan salah satu tempat persembunyian pasukan Jepang saat dibombardir Sekutu pada perang dahsyat pertengahan tahun 1940-an. Serangan udara kemudian menggelindingkan bongkahan batu yang menutup mulut goa, membuat tentara Jepang terjebak di dalamnya. Diyakini masih ada tulang-belulang tentara Jepang yang terkubur di dalam goa, selain yang berhasil diambil dan kini disimpan di ruang belakang monumen. (jay'09)

0 komentar:

Posting Komentar