Situs Batujaya: Bukti Jatidiri yang Terhimpit Ekonomi

Para ahli menyebutnya sebagai penemuan arkeologi terbesar selama 50 tahun ini. Ternyata lokasinya tak jauh dari Jakarta.

Kilat keemasan hamparan padi siap panen, mengiringi langkah menuju kompleks percandian Batujaya. Di perbatasaan Desa Segaran-Kecamataan Batujaya dan Desa Telagajaya-Kecamatan Pakis Jaya, Karawang terlihat beberapa bukit kecil menyembul. Enam km menuju Utara, Pantai Jawa Barat membentang.

Situs ini pertama kali ditemukan di tahun 1984 oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini bernama Fakultas Ilmu Budaya UI). Bukit-bukit kecil di tengah sawah itu disebut unur-unur oleh warga setempat. Mereka sudah lama mengetahui bahwa terdapat tumpukan bata di bawah unur itu, tapi tidak mengira bahwa bata tersebut adalah bagian dari kompleks bangunan candi. Masih banyak unur-unur berukuran cukup besar yang belum digali dan diteliti. Berbentuk bukit-bukit, lengkap dengan pepohonan yang tumbuh lebat di atasnya.

Para peneliti cukup kagum dengan temuan luas situs yang mencapai lima km persegi. Sejak awal penelitian di tahun 1985 sampai 1999, ditemukan tidak kurang dari 13 situs di Desa Segaran dan 11 situs di Desa Tegaljaya.

Berdasarkan penelitian dari temuan artefak dan gerabah, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 dan yang paling muda berasal dari abad ke-12 Masehi. Sementara bangunan-bangunan di situs itu memperlihatkan rentang waktu abad ke-5 hingga ke-6 Masehi yang berarti dibangun di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara.

Amulet dan gerabah –terutama yang dikenal sebagai Romano-Indian roulleted pouttery- berasal dari kota pelabuhan kuno Arikamedu di India Selatan. Ini membuktikan bahwa tempat ini didatangi oleh pelayar dari India yang lalu me­ninggalkan pengaruh budaya.

Sumber lain yang memperkuat adalah laporan perjalanan Fa Hsien yang berjudul Fo Kuo Chi pada tahun 414 Masehi dimana disebutkan keadaan Ya-Wa-Di atau Jawadipa. Catatan di Negeri Tiongkok juga menyatakan bahwa raja To-Lo-Mo (Tarumanagara) dengan rajanya Pa-da-do-a-la-pa-mo atau Purnawarman pernah berkunjung ke Tiongkok pada tahun 435 Masehi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Candi-candi Batujaya adalah candi tertua di tanah Jawa.

Saat ini ada dua candi berukuran cukup besar yang sudah dan sedang dieskavasi di desa Segaran, yaitu Candi Jiwa dan Candi Blandongan.

Candi Jiwa yang sudah diekskavasi sepenuhnya, diba­ngun di atas lapik bujur sangkar. Bagian atas lapik ini bergelombang membentuk helai bunga teratai. Sedangkan Candi Blandongan yang masih dalam tahap rekonstruksi, memiliki undakan tangga di keempat sisinya dan semacam ruang lapang di bagian tengahnya. Diperkirakan ruang lapang ini dipakai untuk pertemuan atau peribadatan. Di sekitar candi Blandongan ditemukan amulet yang menggambarkan relief Buddha. Jadi bisa disimpulkan bahwa bangunan di kompleks ini adalah bangunan candi Buddha.

Kedua bangunan candi itu terbuat dari bata. Lain de­ngan bata biasa, bata candi ini dicampur dengan pecahan kulit kerang. Begitu pula lapisan dinding dan hiasan candi Blan­dongan. Terbuat dari campuran pasir, kerikil dan kulit kerang. Bahan campuran ini disebut stuko.

Penemuan ini meruntuhkan mitos bahwa di Jawa Barat tak ada candi lain selain Candi Cangkuang (candi Syiwa) di Leles Garut. Candi Batujaya justru adalah candi tertua di tanah Jawa. Candi Batujaya juga meruntuhkan mitos bahwa candi yang berumur lebih muda dibangun dari bata merah, sementara candi yang lebih tua dibangun dari batuan gunung (andesitik), seperti model candi-candi di Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Selain bangunan candi dan artefak, pada bulan Juli 2005 sebuah tim kerja sama Puslitbang Arkeologi Nasional dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dari Perancis menemukan kerangka manusia yang masih utuh lengkap bersama bekal kuburnya di Unur Lempeng. Ia dikuburkan memakai gelang emas di tangan kanan sambil memegang pisau (parang) besi. Di antara dua lutut dan dan di bagian punggungnya juga terdapat senjata dari besi. Di bagian kaki dan atas kepalanya terdapat wadah tembikar. Di dekat kerangka tersebut juga ditemukan lima kerangka lain yang semuanya ditemukan bersama bekal kubur berupa tembikar. Penemuan ini menggembirakan, tak pernah dalam sejarah arkeologi ditemukan artefak dan kerangka manusia pembuatnya, dalam satu tempat secara sangat lengkap.

Penemuan situs di pinggir Sungai Citarum ini begitu pen­ting dalam menyumbang informasi prasejarah dan awal sejarah bangsa Indonesia. Situs Batujaya menunjukkan bahwa masyarakat purbakala Indonesia telah cukup terorganisasi dan siap meningkatkan peradaban. Ia adalah bukti, bahwa Indonesia (Nusantara) sudah melakukan globalisasi sejak akhir zaman prasejarahnya.

Penelitian situs Batujaya, bagaimanapun terhimpit ber­bagai kepentingan. Penelitian arkeologi harus berdampingan dengan kepentingan ekonomi pesawahan Karawang sebagai lumbung padi nasional. Ada pula rencana Pertamina dalam mengembangkan penemuan minyak di Pondok Tengah. Ini berarti akan ada tumpang tindih antara lahan penelitian dan kepentingan ekonomi.

Ditilik melalui keuntungan ekonomi, situs Batujaya bisa saja dianggap tak menguntungkan. Tapi dari sudut pandang kepentingan jati diri dan sejarah bangsa, paling tidak harus ada usaha merekonstruksi bangunan-bangunan terbesar yang ada di kompleks percandian itu. Agar bukti bahwa Indonesia adalah bangsa yang telah lama memiliki budaya tinggi, tak lantas menjadi gundukan tanah tak terurus, seperti rasa perca­ya diri bangsa kita, yang kian hari, makin tak terurus.

0 komentar:

Posting Komentar