Heritage Tourism

Bandung, Sejarah dan Konsep
”Urban Heritage Tourism”

Oleh *Jaenudin

URBAN Heritage Tourism merupakan sebuah konsep pariwisata yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan di kota-kota besar di seluruh penjuru dunia. Sebuah konsep pariwisata yang sebenarnya sederhana dengan memanfaatkan lingkungan binaan maupun alam yang dimiliki oleh sebuah kota, yang memiliki nilai historis tersendiri. Para penikmat dan pemerhatinya diajak untuk mengapresiasi serta menginterpretasi objek-objek yang diamati. Dengan demikian, selain berfungsi sebagai sarana pendidikan dan rekreasi masyarakat, aktivitas ini sekaligus pula sebagai sarana pelestari dari kekayaan kota itu sendiri.
Objek yang diamati pada urban heritage tourism bisa bermacam-macam, baik benda (mati atau hidup) maupun juga aktivitas. Umumnya, benda-benda seperti situs, monumen, serta bangunan-bangunan bersejarah memiliki posisi yang penting dalam wisata jenis ini. Kota-kota yang berusia tua melebihi ratusan tahun memiliki banyak bangunan yang merupakan saksi bisu dari perkembangan lingkungannya, potret dari kejadian-kejadian masa lampau yang pernah terjadi di sekelilingnya. Bangunan-bangunan tersebut kemudian menjadi bukti sejarah yang konkret, yang mendukung buku-buku sejarah yang ditulis bertahun-tahun kemudian.
Setiap manusia memiliki kerinduan untuk menikmati dan mempelajari asal usul serta apa yang pernah terjadi pada masa lampau. Selain itu, tanggung jawab semua pihak untuk ikut menjaga objektivitas sejarah dengan meneruskannya kepada generasi-generasi selanjutnya. Hal itulah yang kemudian dikerjakan oleh para pengelola urban heritage tourism, yang bukan hanya berjuang mempertahankan eksistensi sebuah perjalanan budaya, namun juga menghasilkan profit dari proses tersebut.
Selama ini, disadari ataupun tidak, Bandung memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan urban heritage tourism. Sebagai kota dengan sejarah yang cukup panjang, Bandung memiliki koleksi bangunan-bangunan kolonial dalam jumlah yang relatif besar. Bahkan, kekayaan arsitektur art deco Bandung sempat dibanding-bandingkan dengan yang dimiliki oleh Miami di negeri Paman Sam.
Aspek Sejarah
Bangunan-bangunan di Bandung tersebut mewakili sebuah sejarah yang juga tidak kalah uniknya. Pada awal abad 20, tepatnya pada tahun 1913, seorang ahli kesehatan masyarakat kelahiran Groningen yang bermukim di Semarang, H.F. Tillema memaparkan makalahnya di Kongres Perumahan Internasional bertempat di Scheveningen. Ia bertutur tentang buruknya penataan sanitasi di kota-kota pantai di Indonesia. Kota-kota tersebut; Batavia, Semarang, dan Surabaya juga dianggap memiliki iklim yang tidak cocok bagi penduduk yang berasal dari Eropa. Kelembabannya yang tinggi serta suhunya yang panas, tidak menggugah semangat kerja dan malahan dianggap membahayakan kesehatan.
Sejak saat itu, bergulirlah wacana untuk memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung, kota kecil di pegunungan Priangan yang iklimnya dianggap lebih cocok bagi orang Eropa. Selain itu, pemerintah juga berkaca dari pengalaman sebelumnya ketika beberapa kota pantai di Jawa dan Sumatra sempat direbut balatentara Inggris yang dipimpin Lord Minto di tahun 1911. Kota pantai bagi sebuah ibu kota dianggap lebih rawan terhadap serangan musuh. Wacana pemindahan ibu kota ini kemudian coba diwujudkan oleh Gubernur Jenderal J.P. de Graaf van Limburg Stirum yang diangkat pada tahun 1916 menggantikan A.W.F. Idenburg, pejabat sebelumnya.
Dimulailah pembangunan sarana-sarana fisik, berupa bangunan-bangunan modern untuk mewadahi aktivitas di calon ibu kota baru tersebut. Pembangunan yang dipimpin Ir. F.J.L. Ghijsels dari Gemeente-werken tersebut berhasil mendirikan 750 bangunan modern fungsional bergaya kolonial di tatar Bandung yang masih sunyi kala itu. Pemerintah Hindia Belanda membuka peluang pada arsitek-arsitek negerinya untuk berkiprah seluas-luasnya di Bandung. Saat itu, di Bandung terdapat lebih dari 70 arsitek bulai yang sebagian mengecap pendidikan teknik bergengsi di Technische Hoogeschool Delft. Promosi tentang Bandung pun giat dilakukan. Sebagai akibatnya, penduduk Bandung meningkat drastis tiga kali lipat, pada periode antara tahun 1905-1927.
Kebanyakan yang dilakukan oleh para arsitek ini adalah menjiplak langgam yang sedang menjadi tren di Eropa, seperti Art Nouveau (dibawa oleh arsitek P.A.J. Moojen sekira tahun 1905) dan Art Deco yang lebih fungsional (dibawa oleh arsitek generasi berikutnya setelah tahun 1920-an). Akibatnya, wajah kota Bandung kala itu benar-benar merupakan jiplakan wajah Eropa, seperti yang masih dapat kita saksikan sisa-sisanya di pertokoan Jalan Braga dan sekitarnya.
Tahun 1923, arsitek senior kenamaan Belanda, Hendrik Petrus Berlage berkunjung ke Bandung dan beberapa kota di Indonesia. Dalam kesempatan-kesempatan diskusinya dengan para arsitek yang lebih muda, ia mengkritik keras kebiasaan membangun bangunan dengan langgam Eropa asli tanpa adaptasi dengan budaya dan iklim lokal seperti banyak diperagakan di Indonesia. Ia mengemukakan pentingnya pencarian sebuah arsitektur asli yang merupakan sintesa dari kebudayaan Indonesia dan teknologi konstruksi barat, sembari memberikan apresiasi pada bangunan Gedung Sate karya J. Gerber dan Aula ITB karya Maclaine Pont. Terlecut oleh kritikan Berlage, diskusi-diskusi mengenai arsitektur baru tersebut mencuat dengan dipelopori oleh Prof. Ir. Wolff Schoemaker dari T.H. Bandoeng (sekarang ITB) dan koleganya, Maclaine Pont. Beberapa bangunan yang dibangun setelah adanya dorongan dari Berlage tersebut turut mengadaptasi budaya lokal ke dalamnya, kemudian dikenal dengan arsitektur Indo-Eropa. Contoh bangunan dengan langgam baru yang turut memperkaya khasanah arsitektur Indonesia tersebut dapat disaksikan pada Gedung Bioskop Majestic (sekarang Sekretariat Asia Africa Cultural Centre) karya Schoemaker dan Hotel Preanger karya Schoemaker dan Ir. Soekarno.
Selain sejarah perkembangan arsitektur, bangunan-bangunan kolonial di Bandung juga kaya akan sejarah perjuangan bangsa khususnya dari jaman pergerakan kemerdekaan. Gedung Landraad di jalan Perintis Kemerdekaan misalnya, menjadi saksi Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Sukarno yang legendaris dan menggemparkan di depan pengadilan kolonial itu. Pidato yang ditulisnya di atas kloset di selnya yang sempit di penjara Banceuy, yang sayangnya hanya tersisa sepenggal saat ini, ditelan oleh pembangunan pusat perbelanjaan.
Bangunan-bangunan dengan nilai historis yang kental tersebut merupakan modal yang sangat besar bagi konsep urban heritage tourism di kota Bandung. Sayang sekali bahwa penanganannya hingga saat ini belum digarap secara serius dan optimal. Padahal, pangsa pasar wisatawan yang menggemari segmen ini, terutama wisatawan mancanegara cukup tinggi. Yang terjadi adalah sebaliknya, bangunan-bangunan bersejarah di Bandung lenyap satu demi satu. Jika pada tahun 1970-an terdapat sekira 2.500 bangunan berarsitektur kolonial berusia di atas 50 tahun menghiasi kota Bandung, tahun 1990-an jumlah itu sudah menyusut menjadi hanya 495 bangunan lama, dengan menyisakan 206 di antaranya berarsitektur kolonial. Untuk data terkini, Bandung Heritage Society tengah mengupayakan ”sensus” ulang, namun diperkirakan jumlahnya sudah semakin menyusut. Untunglah, sejak tahun 1992 bangunan-bangunan bersejarah tersebut relatif lebih terlindungi dengan adanya U.U. Nomor 5/1992 tentang Benda-benda Cagar Budaya.
Denyut pembangunan kota yang kental dengan nuansa ekonomi rupanya tidak terlalu cocok berkompromi dengan aspek budaya. Bangunan-bangunan kuno seperti yang banyak terlihat menghiasi daerah Dago dan Jalan Asia Afrika tersebut membutuhkan ongkos pemeliharaan yang tinggi, yang tentu saja jika dari pertimbangan finansial semata akan tampak kurang efisien. Akibatnya, jika tidak dirobohkan, pemilik bangunan lebih memilih untuk menelantarkannya. Hal yang tentu saja merugikan bagi generasi muda, yang tidak mendapatkan kesempatan menikmati keragaman budaya kotanya, sekaligus menikmati sejarah perkembangannya.
Pengalaman Singapura
Jauh sebelum wacana urban heritage tourism bergulir, Singapura merupakan salah satu pelopornya di kawasan Asia Tenggara. Seperti halnya yang pernah dialami Bandung, Singapura pun mengalami economic boom pada 1970-an. Bangunan-bangunan kolonial yang banyak menghiasi kota digantikan dengan bangunan bergaya internasional yang ”dingin” dan tercerabut dari akar budaya. Ketika krisis ekonomi melanda pada akhir dekade tersebut, ditandai dengan anjloknya harga minyak bumi, bergulirlah wacana pengembangan kepariwisataan yang berpijak pada heritage sebagai dasarnya.
Singapore Heritage Society mengadakan studi mengenai pengembangan pariwisata Singapura dengan menggandeng institusi terkenal seperti Harvard University dan Massachussetts Institute of Technology. Akhirnya, pada tahun 1984, disepakatilah pengembangan konsep heritage tourism berupa renovasi, restorasi, dan rekonstruksi dari kawasan-kawasan bersejarah negeri pulau tersebut. Kawasan yang ditetapkan ke dalam projek berupa Singapore River, Chinatown, Kampung Glam, dan Little Kiam. Untuk meningkatkan apresiasi terhadap kebudayaan asli daerah, Singapura pun membangun beberapa theme park dengan konsep yang mirip seperti TMII milik kita.
Hasilnya, ternyata cukup mencengangkan. Selain mendapatkan keuntungan dari segi pelestarian budaya dan sejarah, Singapura mendapatkan lonjakan wisatawan yang cukup tajam di tengah muramnya pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara masa itu. Bahkan, untuk menikmati malam tahun baru di hotel ”Raffles” misalnya, kamar harus ditempah (booking) satu semester sebelumnya!
Kembali lagi ke Bandung, sebenarnya berkaca dari pengalaman Singapura tersebut banyak yang dapat dilakukan. Bangunan-bangunan kuno bercorak indah yang banyak dibiarkan merana di Bandung dapat diberi sentuhan dan fungsi baru yang lebih komersial.
Dengan demikian, biaya pemeliharaan yang tinggi dapat tertutup. Hal itu sudah dilakukan pada beberapa bangunan kuno yang kemudian difungsikan secara lebih up to date sebagai factory outlet, kafe, atau persewaan kendaraan. Bangunan kuno memiliki citra tersendiri, yang cukup memberi keuntungan brand image pemilik usaha bersangkutan. Disadari atau tidak, hanya dengan fungsi baru yang mendatangkan profit sajalah bangunan-bangunan seperti itu akan dapat bertahan.
Jika pun terpaksa, dalam kasus-kasus ketika dimensi bangunan bersejarah tersebut tidak dapat lagi menampung fungsi baru yang menuntut luasan yang jauh lebih besar, penghancuran seharusnya merupakan pilihan yang dihindari. Arsitek besar Paul Rudolph yang merancang Wisma Dharmala di Jakarta menawarkan teorinya tentang Bangunan Latar Depan dan Bangunan Latar Belakang. Bangunan-bangunan bergaya internasional yang multiselular dan universal dengan ciri perwajahan yang cenderung sama seperti pusat-pusat perbelanjaan bernuansa superblok yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, diletakkan di latar belakang. Sementara itu, bangunan-bangunan yang bernuansa khusus, seperti — dalam kasus ini — bangunan-bangunan historis, diletakkan di latar depan. Dengan demikian, minimal fasade bangunan tidak hilang sehingga dapat tetap berfungsi sebagai saksi sejarah dengan semangat zamannya masing-masing.
Dengan konsep ini, kekayaan budaya kota dapat tetap lestari sementara keuntungan finansial dapat tetap diperoleh. Program Bandung City Tour yang sudah hilang gemanya, dapat dihidupkan lagi dan dikembangkan dengan lebih terorganisasi, bekerja sama dengan berbagai pihak seperti investor dan pemilik bangunan.
Wacana pemilihan pemimpin Kota Bandung yang bergulir deras akhir-akhir ini, pada akhirnya akan menjadi cukup strategis dalam kerangka pelestarian wajah Bandung yang sekali waktu pernah berjuluk Parisnya Jawa tersebut. Pemimpin dengan wawasan sejarah, budaya, dan pariwisata yang luas tentunya dapat berbuat banyak bagi Bandung tercinta.***

0 komentar:

Posting Komentar