Langit biru di atas Pantai Padanggalak, Denpasar, Bali, awal Juli lalu, terasa semarak oleh ratusan layang-layang berwarna-warni. Layang-layang tradisional Bali, yakni janggan (ular), bebean (ikan), dan pecukan (oval), serta modern (layang-layang dua-tiga dimensi) saling ”bersaing” memperlihatkan keelokan dan kegesitan di atas cakrawala dalam Festival Layang-layang Bali atau Bali Kite Festival Ke-30.
Festival Layang-layang Bali pertama kali digagas budayawan yang juga mantan Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra, pada tahun 1978. Dari tahun ke tahun jumlah peserta terus meningkat. Tahun ini, festival diikuti 735 layang-layang yang pesertanya datang dari sekitar 690 banjar se-Bali, sejumlah daerah di Tanah Air, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan; plus kelompok atau perorangan mewakili 40 negara, antara lain Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
Bagi masyarakat Bali, layang-layang adalah bagian integral budaya agraris mereka. Hal ini tercermin dari cerita rakyat tentang Betara Rare Angon yang kerap digunakan sebagai acuan mengenai sejarah kedekatan layang-layang dengan kehidupan masyarakat Bali. Layang-layang menjadi bentuk ungkapan rasa syukur dan kebahagiaan petani atas keberhasilan panen mereka kepada Dewa Siwa, satu dari tiga manifestasi Tuhan dalam kepercayaan Hindu.
Permainan layang-layang menandai waktu panen, khususnya padi, di banjar-banjar. Kebetulan, panen raya biasanya datang pada bulan Juni-Agustus, bertepatan dengan tibanya musim kemarau. Permainan itu tetap dilakukan, bahkan dilembagakan di sejumlah banjar, dengan pemain utama anak-anak dan remaja. Festival layang-layang lalu menjadi sarana berbagi kebahagiaan bersama bagi seluruh warga, sekaligus menjadi atraksi wisata.
0 komentar:
Posting Komentar